Close Menu
Citpos.idCitpos.id
  • Beranda
  • Berita
  • Ekonomi
  • Politik
  • Sosbud
  • Advetori
Facebook X (Twitter) Instagram
Facebook X (Twitter) Instagram Vimeo
Citpos.idCitpos.id
Subscribe Login
  • Beranda
  • Berita
  • Ekonomi
  • Politik
  • Sosbud
  • Advetori
Citpos.idCitpos.id
Islami

Mengurai Tafsir Kontroversial Amina Wadud: Membangkitkan Peran Perempuan dalam Islam

Wadud kini menghabiskan sisa hidupnya dengan bermukim di Yogyakarta. Disana dia aktif mengajar di UIN Sunan Kalijaga dan Universitas Gadjah Mada
Dexpert CorpDexpert Corp30 Jun 2023
Bagikan Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr WhatsApp VKontakte Email
amina wadud di kediamannya di yogyakarta
Amina Wadud di kediamannya di Yogyakarta (bbc/bbc Indonesia)
Bagikan
Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email

Dalam agama Islam, umumnya terjadi bahwa laki-laki menjadi imam dalam pelaksanaan Salat Jumat. Hal ini bukanlah sebuah diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, sebenarnya Al-Quran sendiri memberikan perhatian khusus terhadap perempuan.

Bahkan, Allah banyak membicarakan sisi kehidupan perempuan, dari mulai posisi sampai keistimewaannya.

Namun apa jadinya bila Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam ditafsirkan ulang dan akhirnya tafsiran tersebut mengartikan perempuan bisa memimpin ibadah Salat Jumat?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Seperti diketahui, isi Al-Quran memang tak berubah dan selalu relevan sepanjang zaman. Pembedanya adalah pemaknaan atau tafsir Al-Quran yang selalu berbeda dari orang ke orang, dari masa ke masa. Di sinilah letak masalahnya.

Para penafsir Al-Quran yang kebanyakan laki-laki melahirkan prasangka diskriminatif terhadap kedudukan perempuan dalam Islam. Saat menafsirkan, yang sangat subjektif, mereka memberi status lebih unggul bagi laki-laki. Atau singkatnya, mereka lebih mengedepankan persepsi dan keinginan kaum laki-laki.

Hal-hal seperti inilah yang membuat Amina Wadud Muhsin turun gunung mengubah persepsi itu.

Lahir pada 25 September 1952, Amina Wadud bukanlah Islam dari garis keturunan. Bapaknya adalah seorang pendeta ternama di Amerika Serikat. Dia sendiri memiliki nama akte Mary Teasley. Barulah saat usia 20 tahun dia memutuskan pindah agama ke Islam dan mengubah namanya menjadi yang dikenal saat ini.

Dalam Inside the Gender Jihan: Women’s Reform in Islam (2006), Wadud bercerita keputusan ini didasari oleh diskriminasi yang dialaminya sebagai perempuan Afrika-Amerika yang beragama Kristen. Kristen, keturunan Afrika, miskin dan tidak berdaya, itulah yang dituduhkan ke Wadud selama 20 tahun hidup pertamanya.

Saat berada di bawah rasisme seperti itulah, dia melihat Islam sebagai agama keadilan di tengah ketidakadilan yang terjadi. Islam dianggap dapat melindungi dan mendukung posisinya sebagai perempuan dari kelas berbeda.

Setelah menjadi Islam itulah Wadud banyak belajar tentang bahasa Arab, Al-Quran, dan tentu ke-Islaman. Tercatat dia kuliah sampai ke Kairo, Mesir. Selama berkelana mencari ilmu, Wadud melihat ada yang salah terhadap penafsiran Al-Quran.

Kesalahan itu terletak pada besarnya subjektifitas penafsir yang didominasi laki-laki. Ini membuat mereka memberi kedudukan eksklusif bagi kaumnya sesama laki-laki.

Dalam Qur’an and Woman (1999), Wadud menganggap tafsir Al-Quran bersifat dinamis, sehingga harus terus menerus ditafsirkan. Baginya, ini bertujuan untuk mencapai “the lived state of Islam”.

Maka, dalam berbagai karyanya dia ingin menemukan atau mengangkat kembali jati diri perempuan Muslim yang telah “dirampas” oleh penafsiran yang bias. Satu-satunya cara adalah merumuskan ulang makna dan tafsir kesetaraan laki-laki dan perempuan.

Masih mengutip Qur’an and Woman (1999), tafsir yang dilakukan Wadud berdasarkan metode hermeneutika tauhid. Maksudnya, dia berupaya menganalisis teks ayat-ayat Al-Quran dengan memusatkan pada susunan bahasa yang bermakna ganda. Dari sini dia mampu membongkar persepsi interpretasi tentang perempuan.

Jadi saat membaca satu per satu ayat Al-Quran, dia berupaya memahami konteksnya, melihat kedudukan ayat tersebut dengan ayat lain, melihat kesamaan bahasa dan struktur di seluruh bagian kitab suci. Itu semua dilakukan untuk mengambil ‘jiwa’ dari ayat-ayat Al-Quran demi tercapainya visi egaliter.

Lantas, bagaimana aplikasi penafsiran ulang Amina Wadud?

Mengutip riset “Tafsir Ayat-Ayat Gender Ala Amina Wadud Perspektif Hermeneutika Gadamer” (2015), salah satu sorotan Wadud adalah tentang penciptaan Al-Quran berdasarkan An-Nisa ayat 1 yang membahas kalau Tuhan menciptakan laki-laki (Adam) dari sumber yang satu, kemudian baru diciptakan perempuan (Hawa) dari sumber (bagian) dari diri laki-laki.

Dalam tafsir tradisional, ayat tersebut memberi pernyataan bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Artinya, kehadiran perempuan bergantung pada laki-laki atau laki-laki berperan penting bagi perempuan.

Bagi Wadud, pandangan ini jelas keliru dan harus dilakukan re-interpretasi. Berdasarkan metodenya, dia membedah satu per satu kata dalam ayat tersebut. Lalu mendudukkannya pada konteks dengan ayat lain.

Dari sini dia menghasilkan satu tafsir baru. Bahwa tidak ada pernyataan Al-Quran bahwa laki-laki lebih penting dari perempuan. Kata Wadud, “Penciptaan laki-laki dan perempuan sebagai sebuah pasangan merupakan bagian rencana Allah. Dengan kata lain, antara kedua bagian dalam pasangan tersebut sama pentingnya.”

Keduanya tercipta dari sistem berpasang-pasangan. Namun, Wadud juga memaklumi apabila ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam ranah fungsi biologis.

Paparan di atas hanya satu dari ratusan tafsir Wadud. Meski demikian, bukan berarti tafsirannya tidak ditentang banyak orang. Justru, hujatan terus menerus diterimanya yang melawan pandangan diskriminatif terhadap perempuan.

Salah satu kontroversi paling besar yang melibatkan Wadud adalah saat dia menjadi perempuan pertama di dunia yang memimpin Salat Jumat di New York (2005) dan Oxford (2008). Wadud yang sudah menafsirkan Al-Quran, memandang tidak ada yang salah dari keputusannya, karena Al-Quran tidak melarangnya. Jelas, tindakan ini menuai kontroversi dari dunia.

“Bisa-bisanya Salat Jumat yang makmumnya adalah laki-laki, dipimpin oleh seorang perempuan,” begitu kira-kira isi mayoritas kecamannya.

Dalam laporan BBC Indonesia (15 April 2022), Wadud kini menghabiskan sisa hidupnya dengan bermukim di Yogyakarta. Disana dia aktif mengajar di UIN Sunan Kalijaga dan Universitas Gadjah Mada.

Amina Wadud Indonesia Islam
Share. Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr WhatsApp Email
Previous ArticleMengejar Pendidikan Tinggi dengan Kuliah yang Fleksibel dan Berkualitas
Next Article Revolusi Tepian Mahakam: Membangkitkan UMKM

Related Posts

Kecaman Dunia Terhadap Pembakaran Al Quran di Swedia: Reaksi dari Arab, AS, dan Indonesia

30 Jun 2023

Kolaborasi RI dan Malaysia Melawan Ancaman Eropa terhadap Industri Kelapa Sawit

29 Jun 2023

RI Siap Dominasi Pasar Baterai Kendaraan Listrik: 3 Pabrik Raksasa Terbesar Dunia Berdiri di Negeri Ini!

27 Jun 2023
Add A Comment

Comments are closed.

PB IGOCIS Jadi Jawaban Orang Tua untuk Minat dan Karakter Anak

Astri Nurfianti4 Okt 2025

Kajian Ustadzah Halimah Alaydrus Ribuan Jamaah Padati Mesjid Agung Tasikmalaya

Astri Nurfianti4 Mei 2025

Nabung Emas di Pegadaian Solusi Pelunasan Biaya Haji

Astri Nurfianti13 Feb 2025

Kemenko PMK Dukung Inovasi Ekosistem Logistik Haji

Astri Nurfianti12 Feb 2025
  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
  • YouTube
  • LinkedIn
  • TikTok
  • WhatsApp
  • Telegram
© 2025 Citpos.id by Dexpert, Inc.
PT Sciedex Multi Press
  • Redaksi
  • Kode Etik
  • Pedoman
  • Kontak

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.

Sign In or Register

Welcome Back!

Login to your account below.

Lost password?